Sabtu, 26 Februari 2011

Kesaksian Nur Emmah: "AKU lah TUHANmu. AKU lah Jalan, Kebenaran, dan Hidup" Part 1

Kesaksian Nur Emmah: "AKU lah TUHANmu. AKU lah Jalan, Kebenaran, dan Hidup" Part 1

Sebuah kisah sejati yang sangat dahsyat dan menyentuh hati.

Bagaimana Nuremmah harus melindungi dan menjaga keluarganya dari teror dan ancaman pembunuhan, setelah ia memutuskan mengikut jalan Kristus. Apalagi ia bersuamikan Tionghoa dan keluarganya pemeluk agama yang kuat. Tetapi wanita Madura kelahiran Madura 1 Desember 1965 ini tak pernah menyerah, baginya satu-satunya Juruselamat cuma Yesus. Seperti dituturkan jemaat GBIS Bunga Bakung Pamekasan ini.

Saya lahir dari sebuah keluarga Madura yang taat menjalankan perintah agama. Doktrin yang saya terima dari bapak begitu jelas. Saya boleh menikah dengan siapa saja, apapun rasnya, asal yang bersangkutan seiman dengan saya. Maka ketika hati saya tertambat pada seorang pria Tionghoa yang berbeda agama dengan saya, tiba-tiba saja sebuah masalah besar menghadang di depan mata. Apalagi sebagai wanita yang masih sangat muda waktu itu, saya lebih menuruti kata hati dan perasaan. Ya, perasaan yang tengah tumbuh subur oleh cinta. Sebenarnya sebagai anak yang berbakti, saya tak hendak menentang kehendak orangtua. Tapi yang satu ini, dorongan hatiku agaknya lebih kuat dari berbagai larangan maupun resiko paling buruk yang mesti kuhadapi. Maka mesti ditentang disana-sini, kadang juga diancam, aku pantang mundur untuk memadu cinta dengannya.

Tetapi kekangan dan tekanan keluarga rupanya jauh lebih kuat. Keinginan orang tua kami cuma satu: kalau aku hendak menikah dengan pacarku, maka dia yang tidak seiman dengan kami mesti memeluk kepercayaan yang kami anut. Mungkin demi kasihnya yang begitu besar kepadaku, dia pacarku, akhirnya menuruti kemauan orang tuaku. Begitulah, setelah semua persyaratan yang diajukan bapak dipenuhi, kamipun menikah pada 27 Juli 1985, tepat pada hari ulang tahun pacar saya. Tak lama kemudian buah hati pertama kami lahir, kami beri nama Nova. Ia cantik dan pintar.

Lalu menyusul adiknya, Agnes. Nah saat Agnes berusia 2 tahun, tepatnya pada 1989, saya mengalami mimpi aneh. Dalam mimpi itu seakan-akan saya berada di padang pasir yang tandus dan panas. Rasa haus menyiksa kerongkongan. Sepi, tak seorangpun ada di sana. Jeritan minta tolong seperti lenyap disapu angin padang pasir. Tiba-tiba dalam mimpi itu, saya seperti melihat kilat. Bersamaan dengan itu muncul sesosok laki-laki berambut panjang dan berjubah. Di bagian belakang jubahnya terlihat warna biru langit yang segar. Sayapun melambaikan tangan kearahnya, berharap pertolongan. Mendadak orang itu berkata, "Saat ini kamu sedang diambang kematian. Jika ingin selamat, kamu harus percaya kepada-Ku. Karena jalan keselamatan, hanya ada didalam-Ku. Akulah Tuhanmu. Apakah kamu masih belum percaya? Akulah jalan kebenaran hidup. Barangsiapa percaya kepadaKu, maka ia akan selamat. Ikutlah padaKu ..!"

Saya kontan terbangun. Anehnya keadaan kamar saya waktu itu ikut terang benderang. Padahal lampu penerangan di kamar saya hanya 15 watt. Saya jadi tercenung, mengenangkan semua mimpi yang baru terjadi. Saya ingat dengan jelas wajah laki-laki berjubah yang menemui saya di dalam mimpi itu.

Ah, benar! Wajahnya itu kerap dibawa suami saya dari Surabaya, enam tahun silam. Ketika itu suami saya membawa gambar Yesus dan sebuah Alkitab. Melihat semua itu emosi saya jadi terbakar, gambar Yesus saya injak- injak dan saya sobek. Dengan penuh kemarahan saya berkata kepada suami saya, "Saat ini juga kita cerai...!" Mungkin takut atau tak ingin ribut-ribut, sejak itu suami saya tak pernah lagi membawa gambar Yesus ke rumah.

Demikian pula dengan Alkitab, saya tak pernah melihatnya untuk yang kedua kali. Kendati begitu mimpi di padang pasir terus mengusik pikiran saya. Sampai kira-kira sebulan kemudian, saya bertengkar hebat dengan suami. Jujur mesti saya akui kalau suami saya sangat baik dan sabar. Jika terjadi pertengkaran di antara kami, ia memilih mengalah atau menghindar. Saya sendiri aduh ... acapkali kesetanan.

Dengan kedua tangan saya mencekiknya. Sesudah itu saya berendam di kamar mandi hingga berjam-jam. Begitu juga yang terjadi malam itu, usai bertengkar dengan suami, saya langsung masuk ke kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Takut terjadi sesuatu dengan saya, suami mencoba menggedor-gedor pintu. "Kalau kamu marah, jangan begitu. Itu namanya menyiksa diri. Lebih baik kau pukul saja aku .... biar lega", bujuk suami saya.

Blessing Family Centre Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar