Hari itu, tanggal 26 Desember 2004, Paulus Kilikili tetap beraktifitas seperti biasanya di tempat tinggalnya Banda Aceh. Hari itu hari Minggu, Paulus sudah bangun sebelum jam 8 dan sudah membuka warung dagangannya. Sang istri pun sedang menyiapkan makanan. Mereka sama sekali tidak mempunyai firasat akan apapun yang buruk akan terjadi menimpa mereka.
Sekitar jam 8, tiba-tiba terjadi goncangan keras. Mereka mengalami gempa, begitu juga dengan penduduk sekitar, kemudian gempa itupun berlalu saat mereka semua sudah keluar rumah tanpa mengalami cedera apapun. Sekitar 15 menit kemudian, ketika Paulus masih duduk-duduk santai sambil minum kopi di depan warungnya yang juga merupakan bagian rumahnya, tiba-tiba bahaya menghampiri mereka.
Semua penduduk di sana melarikan diri dan berteriak-teriak. Pasalnya adalah air laut naik ke permukaan daratan dan menghantam setiap benda maupun orang yang dihampirinya. Saat Paulus melihat air yang setinggi 15 meter itu menghampirinya, dia hanya bisa pasrah.
Tiba-tiba Paulus dihantam dan tidak sadarkan diri. Yang dia tahu kemudian adalah dia tersangkut di batang kelapa dan berada sekitar dua kilometer jauhnya dari rumahnya karena terbawa tsunami itu. “Saya nggak lari kok saya yang selamat?” begitulah yang dikatakan Paulus sewaktu bersaksi. Sampai air itu surut, Paulus tetap mempertaruhkan nyawanya dengan berpegangan pada sebatang pohon kelapa tersebut.
Setelah air surut, Paulus turun dari batang kelapa itu (Bisa dibayangkan setinggi apa tsunami itu sampai-sampai Paulus bisa tersangkut di pohon kelapa yang begitu tinggi?) Paulus yang sudah terluka parah bermaksud untuk kembali ke rumahnya dan melihat pemandangan yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidupnya. Kakinya begitu kesakitan dan tidak bisa lagi dipakai untuk berjalan.
Saat itu Paulus melihat begitu banyak mayat yang tergeletak di sekitarnya. “Saya sudah sedih dan menangis melihat kejadian itu. Saya juga minta ‘Tuhan, mana keluarga saya? Mana keluarga saya? Selamatkanlah keluarga saya, Tuhan…”
Dalam kondisi tubuh yang penuh luka dan kekuatiran yang mendalam mengenai keselamatan keluarganya, Paulus baru mendapatkan pertolongan menjelang sore dari beberapa orang relawan. “Saya sampai jam 4 sore, baru dibawa ke puskesmas. Sesampainya di sana pun sudah tidak ada makanan maupun minuman. Selama dua hari tidak ada makan dan minum. Baru hari ke-3 Paulus bisa makan minum setelah dibawa ke tempat lain.
Setelah sembuh, Paulus mulai mencari keluarganya. “Waktu saya masih sakit, saya kepikiran mungkin ada keluarga saya yang selamat.” Maka Paulus pun mulai mencari ke tempat-tempat informasi yang tersedia. Dia masukkan keterangan di Koran, masuk ke banyak rumah sakit dan mencari mereka tapi setelah satu tahun, dia tetap tidak menemukan mereka. Bahkan kuburan mereka pun tidak bisa dia temukan.
“Saya sudah pasrah aja sama Tuhan. Sedih banget. Selama 6 bulan saya menangis terus. Saya tidak bisa ketemu anak, istri, cucu saya, menantu saya. Air mata keluar setiap hari, siang malam tidak bisa tidur memikirkan mereka.”
Rasa sedih tak tertahankan, membuat Paulus meninggalkan Aceh dan datang ke Jakarta. Namun, di Jakarta pun dia tidak memiliki tujuan yang pasti. “Lari ke Jakarta, saya tidak punya sanak saudara sekalipun. Tapi daripada stress, saya datang saja.”
Di Jakarta, saat menjelang sore, Paulus pun mencari taksi dan pergi ke hotel yang paling murah. Paulus tidak mengerti tujuan hidupnya di Jakarta. Dia hanya ingin melarikan diri dari kenyataan ditinggal istri dan keluarganya. Hal itu membuat Paulus seperti orang yang kehilangan arah saat di Jakarta.
“Saya bangun pukul 10.00 pagi. Setiap hari saya pergi kemana saja saya bisa, saya tanya orang-orang. Yang saya lakukan kemudian cuma duduk-duduk saja di pinggiran jalan, dimana saja sambil merenung kembali tentang kehilangan yang saya alami. Selama sebulan itu, hanya itulah yang saya lakukan. Sepuluh malam pulang, sepuluh pagi saya pergi lagi, itulah yang saya lakukan terus menerus.”
Selama sebulan itu, uang Paulus pun habis. Dia kemudian hidup terlunta-lunta. Dia tidur di sembarang tempat dimana saja dia bisa tidur. “Saya tidak ada duit itu. Saya tidur di sana sini, sana sini, saya tidur di dekat polisi cepek. Tapi orang-orang kasihan kepada saya...”
Sebabnya adalah ketika mereka menanyakan dia darimana, Paulus menjawab bahwa dia berasal dari Banda Aceh. Kemudian diapun menceritakan kejadian tragis yang menimpanya. Malahan, para polisi cepek itu memberinya makan. “Besok, kalau Bapak belum makan, datang lagi saja ke sini…” Itulah yang diperbuat oleh polisi cepek ini kepada Paulus.
Berbulan-bulan Paulus hidup jadi gelandangan di Jakarta. Tanpa harapan, tanpa apa-apa dan harus mengharapkan belas kasihan orang lain. Makanya, setiap kali bertemu orang, dia mengharapkan pekerjaan yang bisa menyokong dia untuk bisa makan. Saat Paulus sedang dalam kondisi tubuh lemah dan sakit-sakitan, saat itulah Paulus bertemu dengan seseorang yang tanpa disadarinya, akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.
“Suatu saat, saat saya sakit, seorang hamba Tuhan datang dari gereja kepada saya...”
“Bapak lagi ngapain?” tanya hamba Tuhan tersebut.
Paulus kaget melihat orang tersebut kemudian menjawab, “Saya numpang tidur, Pak. Saya lagi sakit.”
Hamba Tuhan tersebut memberikan kepadanya makanan dan menemaninya selama dia makan. Saat Paulus sudah selesai makan, dia mengatakan, “Pak, tolong cari saya kerjaan. Apa saja yang penting saya bisa makan.”
Hamba Tuhan tersebut meminta Paulus untuk datang kembali minggu depan. Saat yang ditetapkan tiba. Paulus datang dan akhirnya diajak ke salah satu rumah teman hamba Tuhan tersebut. Tanpa dia sadari, di sana Paulus merasakan kasih yang luar biasa dan penerimaan yang sesungguhnya.
“Kondisi Paulus saat itu sangat parah ya… Saya tidak tahu siapa itu Pak Is (Paulus, red) tapi saya mengasihi dia. Saya dan Pak Is tinggal satu kost.” Begitu kisah Lexi Kurmasela, orang yang dimintai bantuan oleh hamba Tuhan tersebut.
“Sekarang kondisinya jauh berbeda. Kalau dulu tujuan hidupnya tidak ada, sukacita tidak ada. Dia menjalani hidup biasa aja. Tapi setelah dia lebih lagi mengenal kasih Tuhan, perbedaannya jauh. Dulu dia membutuhkan sukacita, dulu dia meminta pertolongan kepada orang lain. Sekarang dia memberikan pertolongan dan sukacita kepada mereka yang membutuhkan.” Lexi bercerita.
“Sekarang makan saya teratur, pikiran tidak beban. Saya berpikir, kok bisa saya jadi begini? Saya diubah Tuhan sedemikian rupa dan dipulihkan. Saya berterima kasih kepada Tuhan Yesus, apapun beban yang saya rasakan, sudah Tuhan Yesus angkat. Tuhan memberikan kekuatan bagi saya. Saya percaya Tuhan Yesus adalah Juru Selamat bagi saya sampai selama-lamanya.” (Kisah ini ditayangkan pada acara Solusi Life di O Chanel tanggal 21 Juli 2010)
Sumber Kesaksian :
Paulus Kilikili
Tidak ada komentar:
Posting Komentar