PENGANTAR
Shalom,
Ada hal penting yang
dapat kita pelajari dari
kesaksian hidup HS,
ketika membaca
kisahnya dalam
kesaksian di edisi kali ini.
Bahwasanya Tuhan
tidak harus
menghindarkan kita dari
semua masalah
kehidupan. Sering kali,
lewat masalah itulah
kita akan dapat
terhubung dengan
suara-Nya walaupun
gemanya sayup
terdengar laksana
bisikan. Ketika
semuanya terasa aman
lagi nyaman, justru
sering kali
kita akan kesulitan
mendengarkan suara-
Nya, padahal bisa jadi
saat itu sebenarnya
Allah sedang berteriak
berusaha menarik
perhatian kita.
Kesaksian hidup HS
juga dengan terang
menunjukkan bahwa
kalaupun
kita sedang dirundung
susah, sebenarnya akan
selalu ada kesempatan
dan kemungkinan bagi
kita untuk membuat
Allah tersenyum,
dengan
jalan menjadi berkat
bagi orang lain. Selamat
menikmati edisi kali
ini! Tuhan memberkati!
Redaksi tamu KISAH,
Wilfrid Johansen
http://kekal.sabda.org
http://fb.sabda.org/
kekal
______________________________________________________________________
KESAKSIAN
MENABUR
KASIH MENUAI BERKAT
Saya (HS) sering pergi
ke Gunung Kawi untuk
mencari "keselamatan"
bagi seluruh keluarga
besar kami. Sekalipun
ketika kecil saya pernah
mengikuti ibadah di
gereja di daerah
kadipaten bahkan
pernah ikut
memainkan sandiwara
yang bernapaskan
Kristen, namun saya
tidak
pernah memimpikan
atau membayangkan
untuk menjadi seorang
Kristen
atau pengikut Yesus.
Pada 20 April 1977, saat
saya sedang bekerja
pada salah satu bank di
Bandung, saya bertemu
dengan seorang gadis,
nasabah saya. Setelah
berkenalan, kemudian
pada tanggal 10
Oktober
1977 saya melamarnya.
Karena neneknya adalah
seorang Kristen yang
sangat taat, maka ia
menghendaki supaya
kami menikah di gereja.
Tanggal 26 Februari
1978, demi cinta saya
kepadanya, saya rela
pernikahan kami
diteguhkan di gereja,
kemudian ketika istri
saya
sedang mengandung
anak kami yang
pertama barulah kami
menikah resmi
di catatan sipil.
Sekalipun saya sering
menemani istri pergi ke
gereja, tetapi hal itu
hanyalah sekadar
formalitas saja. Di balik
itu, saya masih
menjalani
kehidupan malam yang
penuh dengan judi dan
pesta pora. Beberapa
tahun kemudian.
Setelah kami dikaruniai
2 orang anak yang lucu-
lucu,
mereka selalu kami
bawa untuk beribadah
ke gereja. Ketika anak
saya
yang pertama,
Christina, berumur 4
tahun, ia pernah
memohon kepada
gurunya agar ikut
mendoakan supaya
ayahnya menerima
Tuhan Yesus.
Pada bulan Oktober
1990, seorang teman
baik saya, Bapak
Gunawan,
memaksa saya
mengikuti sebuah
retreat bagi pasangan
suami istri yang
telah menikah 5 tahun
atau lebih (Marriage
Encounter). Meskipun
pada
mulanya saya tidak
bersedia ikut acara itu,
namun setelah
beberapa
hari mengikuti acara
tersebut, saya dan istri
dibimbing dan
diajarkan bagaimana
menjalin hubungan yang
harmonis antara suami
dan
istri, hubungan antara
orang tua dengan anak-
anak, cara
bermasyarakat, cara
menghadapi para
pembantu, mertua, dan
yang
terakhir kami juga
diajarkan bagaimana
cara berhubungan
dengan
Tuhan. Seorang
pembimbing kami
menyebutkan bahwa
suami adalah kepala
keluarga; dialah orang
yang paling bertanggung
jawab kepada Tuhan
atas seluruh
keluarganya. Bahkan jika
seorang suami marah
kepada
istrinya tidak boleh
dengan mulut tetapi
harus dengan surat
cinta.
Pada saat pelajaran itu
sedang berlangsung,
isinya seakan-akan
telah
menuding hati saya
dengan mengatakan
bahwa selama ini diri
saya
adalah suami dan ayah
yang tidak pernah
bertanggung jawab.
Pada
kenyataannya, seluruh
kriteria yang disebutkan
dalam makalah
tersebut tidak ada
pada diri saya. Selain
saya adalah seorang
suami
dan ayah yang sangat
egois, hidup saya juga
jauh dari jalan
kebenaran dan tidak
pernah memercayai
adanya Tuhan. Dengan
disertai
linangan air mata, saya
langsung menyerahkan
hidup saya kepada
Tuhan
dan berjanji untuk
berubah menjadi suami
dan ayah yang baik.
Keesokan harinya
sepulang dari retreat
itu, untuk pertama
kalinya
saya bergabung dalam
gereja anak saya. Guru
sekolah minggu anak
saya
menyambut dengan
gembira dan
mengatakan bahwa doa
mereka telah
dikabulkan oleh Tuhan.
Pada tanggal 31
Desember 1990, saya
menyerahkan diri untuk
menerima Yesus
sebagai Tuhan dan Juru
Selamat. Kemudian
saya dibaptis.
Sejak saat itu, usaha
yang kami rintis di saat
pernikahan kami,
yaitu distribusi furnitur
untuk seluruh Jawa
Barat, asuransi
kerugian, dan biro
travel, berjalan dan
berkembang dengan
sangat
pesat. Keadaan itu
telah membuat saya
menjadi seorang
pengusaha yang
diperhitungkan di kota
Bandung. Teman-teman
saya mulai menitipkan
uang dengan jumlah
yang sangat besar
kepada saya, dan
dikembalikan
dengan bunga.
Sebaliknya, saya
memberikan
pertolongan kepada
teman
lain dengan
meminjamkan uang itu
tanpa bunga sedikit pun.
Mereka
mengatakan bahwa
perbuatan saya adalah
sangat baik. Pada saat
diri
saya mulai dipuji dan
disanjung, saya pun
mulai menjadi sombong
sehingga lupa diri dan
melupakan Tuhan,
bahkan tidak menyadari
bahwa
ternyata hal-hal yang
saya lakukan adalah
sebuah kebodohan saya
sendiri.
Tahun 1993, orang-
orang yang menitipkan
uang kepada saya
bertambah
banyak. Sungguh di luar
dugaan. Jumlah dana
yang dipinjamkan
kepada
saya ternyata sudah
mencapai angka sekitar
dua miliar rupiah.
Sebaliknya, ketika
orang-orang mulai
datang mengambil
dana-dana yang
sudah jatuh tempo itu,
saya tidak dapat
membayar pinjaman-
pinjaman
itu berikut bunganya.
Saya dan istri mulai
memberanikan diri
untuk
membuka pembukuan
kami kepada seluruh
rekan-rekan saya.
Setelah kami
diaudit, ternyata
jumlah hutang lebih
banyak dari piutang
yang ada
di seluruh perusahaan
kami. Bahkan seluruh
aset tidak akan cukup
untuk membayar
seluruh hutang-hutang
itu. Setelah saya
menjual
seluruh aset
perusahaan dan pribadi,
termasuk rumah dan
mobil,
ternyata hasilnya
masih belum cukup
untuk membayar
hutang-hutang
itu. Saya mengatakan
kepada mereka bahwa
saya tidak sanggup lagi
membayar seluruh
dana pinjaman tersebut
hingga mereka marah
dan
mengirim tukang pukul
untuk menagih kepada
kami. Ketika saya
mengalami intimidasi
yang begitu dalam saya
merasa bahwa
semuanya
sudah gelap. Saya
merasa seolah-olah ada
bisikan yang
mengatakan
bahwa hidup saya
sudah tidak berharga
lagi, saya sudah
bangkrut dan
tidak memunyai apa-
apa lagi.
Pada suatu ketika
sekitar tengah malam,
malam itu menjadi
suatu
malam yang teramat
panjang dalam hidup
saya, tanpa
sepengetahuan
istri dan anak-anak
saya, tanpa membawa
dompet dan benda apa
pun,
dengan hanya
mengenakan sandal
jepit, saya berangkat
dengan berjalan
kaki dari rumah yang
saat itu berada di jalan
Budi Sari menyusuri
sepanjang jalan Gatot
Subroto Bandung untuk
melaksanakan niat
bunuh
diri dengan
menabrakkan diri ke
kendaraan yang sedang
melintas di
malam yang gelap.
Pukul 2 pagi, saat saya
sedang menunggu
kendaraan yang tepat
untuk
saya menabrakkan diri,
entah ada kekuatan dari
mana datangnya yang
mendorong saya untuk
memasuki sebuah
gedung gereja. Setelah
saya
berada di dalamnya,
saya mulai tertegun dan
sadar bahwa apa yang
saya perbuat adalah
salah. Beberapa saat
lamanya saya
berguling-guling di
dalam gereja, saya
sangat menyesali
keputusan
jalan pintas yang saya
ambil itu. Dengan tulus
hati, saya minta
ampun kepada Tuhan,
dan memohon agar
Tuhan memberikan
kekuatan
sehingga saya sanggup
memikul persoalan itu
dan menghadapinya
dengan
iman yang teguh.
Setelah lelah berguling
akhirnya saya tertidur
dengan pulas dalam
gedung gereja. Baru
sekitar pukul 4 pagi,
ketika
angin menghembusi
tubuh saya, saya
terbangun dan kembali
ke rumah
untuk bertemu dengan
istri dan anak-anak
tercinta. Sesampainya di
rumah, istri dan anak
saya ternyata sedang
berdoa menanti
kehadiran
saya, dan saya kembali
tertidur namun kali ini
dengan perasaan yang
amat tenang.
Sejak hari itu, saya dan
keluarga sungguh-
sungguh mencari Tuhan
dengan berdoa dan
berpuasa. Walaupun ada
kesempatan bagi kami
untuk
melarikan diri tetapi
kami memutuskan
untuk tetap bertahan,
meskipun
kami bisa memakai
jasa pengacara, tetapi
saya tetap konsekuen
untuk
membayarnya. Tuhan
itu sangat baik
terhadap kami
sekeluarga.
Sekalipun kami harus
menjual seluruh harta
yang kami miliki, namun
Tuhan juga mengirim
kawan-kawan saya
untuk menolong kami
terlepas
dari hutang-hutang
tersebut.
Tahun 1996, kami
menempati sebuah
rumah kontrakan dalam
keadaan
finansial yang masih
belum stabil dan masih
ada beberapa cicilan
hutang yang belum
beres. Pada saat itu
salah seorang saudara
dari
istri saya mengundang
keluarga kami untuk
mengunjungi Australia.
Sebenarnya hati kecil
saya mengatakan
bahwa daripada
mengeluarkan
uang yang banyak
untuk biaya perjalanan,
lebih baik dana tersebut
dikirim saja kepada
kami untuk membayar
hutang-hutang saya,
namun
akhirnya kami
memutuskan untuk
berangkat. Pada saat
kami berada di
Australia, ternyata
bukan saja Tuhan yang
ajaib itu menolong kami
untuk pergi berlibur
sekalipun masih dalam
keadaan susah, tetapi
saat itu adalah saat-
saat yang paling
membahagiakan hidup
kami
sekeluarga. Saudara
yang baik hati itu pun
menawarkan diri untuk
membiayai kuliah anak
kami di Australia.
Tahun 1998, masih
dalam keadaan ekonomi
yang belum stabil,
seorang
ibu menceritakan
kepada saya bahwa ada
seorang anak yang
dibuang dan
dimasukkan ke dalam
sebuah kardus mi
instan kemudian
diletakkan
begitu saja di tepi jalan.
Ia bercerita lagi bahwa
anak yang berumur
sekitar dua setengah
tahun itu matanya buta.
Keberadaan anak itu
sudah diumumkan di
radio dan diberitakan di
koran Pikiran Rakyat
Bandung namun tidak
ada seorang pun yang
mau mengakuinya
sebagai
anak. Sebenarnya pada
saat itu tidak terpikir
bagi saya untuk
memungut anak itu;
jangankan mengurus
orang lain, untuk
membiayai
keluarga saya sendiri
saja saya masih sangat
berkekurangan. Tetapi
karena kami sekeluarga
telah merasakan
jamahan kasih yang luar
biasa
dari Tuhan, maka
Tuhan memberikan
kami hati yang teguh
untuk
menyalurkan kasih itu
kepada orang lain.
Seminggu setelah ibu
tersebut menghubungi
kami untuk pertama
kalinya, ia kembali
menghubungi saya dan
mengatakan bahwa
sampai hari itu tidak
seorang
pun yang mau
memungut anak yang
dititipkan di salah satu
masjid di
Bandung itu. Ibu itu
lebih jauh menyarankan
kepada saya agar saya
mau melihatnya
terlebih dulu.
Ketika saya dan istri
datang menengok anak
itu, bukanlah maksud
saya
untuk merendahkan
martabat seorang
ciptaan Tuhan, tetapi
anak itu
persis seperti seekor
anak monyet. Selain
ukuran kepalanya yang
besar dan kedua
kakinya yang lumpuh,
kedua matanya pun
buta, bahkan
dari dalam lobang
hidungnya keluar daging
tumbuh. Saat itu,
kulitnya
kasar dan sangat buruk
karena tidak mandi
selama berbulan-bulan,
bahkan duduk saja
tidak bisa apalagi untuk
berjalan. Pada saat saya
memberanikan diri
untuk menggendong
anak itu, tiba-tiba ia
mencium
leher saya. Dalam
keraguan, saya berkata
kepada istri saya
bahwa
seandainya anak itu
normal, saya pasti
sudah mengadopsinya
saat itu
juga. Tiba-tiba istri
saya mengatakan
sebuah kalimat yang
mengejutkan hati saya.
Ia berkata, jika kami
ingin menolong
seseorang, maka tidak
boleh ada perkataan
"Tetapi". Saat itu saya
menceritakan peristiwa
itu kepada anak saya di
Australia. Seminggu
kemudian Christina,
putri saya, menelepon
untuk menanyakan
apakah
anak itu sudah diambil.
Lalu saya mengatakan
bahwa anak itu pastilah
akan menyusahkan
kita, jadi tidak perlu
dipikirkan lagi. Tetapi
kali
ini giliran putri saya
yang mengatakan
sebuah perkataan yang
sungguh
membuat hati saya
terkejut. Dia
mengatakan jika kami
mengambil
seorang anak yang
normal, itu adalah hal
yang biasa, tetapi jika
kami berani mengambil
anak yang cacat, maka
itu adalah sesuatu yang
sangat luar biasa di
mata Tuhan. Siapa
menaruh belas kasihan
kepada
orang yang lemah,
maka dia memiutangi
Tuhan.
Sementara itu anak
lelaki kami, Yogieh, yang
baru duduk di kelas dua
SMA, sekalipun ia belum
melihat anak buangan
itu, namun ia merengek
dan meminta kepada
saya supaya anak itu
boleh tinggal selama
seminggu di rumah
kami. Meski sebenarnya
hati saya menolak,
tetapi
pada tanggal 31 Juli,
dengan perlahan ia
mengatakan kepada
saya
apabila hati saya
merasa damai, saya
boleh mengambil anak
itu,
tetapi jika hati tidak
merasa damai, maka
jangan mengambil anak
itu.
Keesokan harinya,
dengan hati yang diliputi
damai sejahtera yang
luar biasa, sesuai
dengan permintaan
anak saya, kami setuju
untuk
membawa anak itu
untuk sementara,
dengan catatan, apabila
ia dapat
dirawat, maka kami
akan meneruskan
merawatnya, tetapi jika
tidak,
anak itu akan
dipulangkan kembali.
Ternyata, ketika anak
yang buta
itu berada di rumah
kami, anak saya segera
menatapnya sambil
menangis. Pikiran saya
mengatakan bahwa
pastilah hati anak saya
sangat kecewa dan
dalam hatinya pastilah
menyalahkan saya
sebagai
ayahnya yang
membawa anak
semacam itu ke rumah
kami. Ketika saya
bertanya mengapa ia
menangis, ia berkata
bahwa ia bersyukur
anak itu
telah kami ambil, sebab
sudah lebih dari 2 tahun
tidak ada orang
yang mau
menghiraukannya.
Pernyataan itu adalah
sebuah konfirmasi
yang membuat hati
saya sangat
bersukacita.
Ketika anak itu berada
di rumah kami, teman-
teman mulai mencibir
kami. Mereka
mengatakan bahwa
kami adalah orang yang
tidak memunyai
akal sehat. Mereka juga
menambahkan bahwa
bagaimana mungkin
kami
bisa mengatasi
persoalan anak yang
hampir mati itu,
sedangkan
keadaan ekonomi kami
masih morat-marit. Dua
minggu kemudian,
sekalipun saya
menyadari bahwa saya
tidak tahu apa yang
harus saya
perbuat dengan kondisi
anak itu, namun setelah
kami berusaha
memberikan yang
terbaik dan dengan
sungguh-sungguh
mengasihi anak
itu seperti mengasihi
anak sendiri, Tuhan
menolong kami. Teman-
teman
yang pernah
melecehkan saya diubah
Tuhan sehingga mau
membantu kami
merawat anak itu. Ada
teman-teman yang lain
yang mengirim susu
hingga berlimpah-
limpah. Saya sangat
percaya bahwa Tuhan
akan
menjadikan anak itu
bukan menjadi seorang
peminta-minta tetapi
menjadi alat-Nya bagi
orang lain, dan Tuhan
tidak akan
membuatnya
menjadi tukang pijit,
tetapi menjadi seorang
pemain piano.
Ketika anak itu berada
di rumah kami, saya
hanya bisa merawatnya
dengan kasih dari
Tuhan. Empat bulan
kemudian, ketika ia
belum dapat
buang air dengan
normal, saya
membawanya ke
sebuah KKR. Setelah
kami mendoakannya
sambil menumpangkan
tangan di atas
perutnya, Tuhan
menjamah perutnya
sehingga langsung
buang air besar dengan
lancar.
Sejak saat itu tidak ada
lagi gangguan di dalam
pencernaannya.
Bertahun-tahun anak
itu kami bawa ke
dokter spesialis
kelumpuhan
namun tidak kunjung
sembuh. Tetapi setelah
kami doakan selam
beberapa
waktu kini ia sembuh
dan sudah dapat
berjalan dengan normal.
Sekarang anak itu
sudah bersekolah di SLB
C Wiyata Guna Bandung.
Bertahun-tahun saya
sudah diproses oleh
Tuhan. Secara
manusiawi
semua proses itu
memang menyesakkan,
bahkan sering kali saya
merasa
tidak sanggup
menyelesaikannya
dengan baik, namun
Tuhan hanya
menginginkan saya
mengandalkan Dia
dalam segala hal dan
bukan
mengandalkan
kekuatan saya sendiri.
Benih-benih kasih yang
pernah
kami tanam beberapa
waktu lalu sekarang
telah kami tuai dengan
berbagai berkat dari
Tuhan. Sejak bulan
Oktober 2003 yang lalu,
Tuhan telah
memulihkan keadaan
ekonomi keluarga kami,
bahkan saat
ini kami dibebaskan dari
hutang. Terpujilah
Tuhan!
Diambil dari:
Judul buletin: SUARA,
Edisi 73, Tahun 2004
Penulis: KM
Penerbit: Yayasan
Persekutuan Usahawan
Injili Sepenuhnya
Internasional
(PUISI), Jakarta
Halaman: 3 -- 8
______________________________________________________________________
Sekalipun kamu belum
pernah melihat Dia,
namun kamu
mengasihi-Nya.
Kamu percaya kepada
Dia, sekalipun kamu
sekarang tidak melihat-
Nya.
Kamu bergembira
karena sukacita yang
mulia dan yang tidak
terkatakan, karena
kamu telah mencapai
tujuan imanmu, yaitu
keselamatan jiwamu.
(1 Petrus 1:8-9)
< http://
alkitab.sabda.org/?
1Petrus+1:8-9 >
Tidak ada komentar:
Posting Komentar