Pada waktu itu,
memang kakak saya
bilang kalau mau
berhasil saya harus
sekolah di Jakarta.
"Pokoknya Mas mau
kamu sekolah di
Jakarta." begitu kata
kakak saya yang laki-
laki. Jadi, saya turuti
saja. Jadi ketika saya
lulus SMP, saya ke
Jakarta. Di Jakarta,
saya mengulang
pelajaran kelas 1 SMA
agar nantinya saya bisa
mengikuti kelas 2 IPA.
Keengganan saya dalam
sekolah di Jakarta
terbukti. Pada saat itu,
saya punya jadwal
mengikuti kelas Jerman.
Tiba-tiba saja saya
disuruh menjawab
pertanyaan. Saya bilang,
" Pak, saya benar-benar
tidak bisa, karena saya
belum pernah belajar
bahasa Jerman." kata
saya pada guru yang
mengajar. Saat itu saya
diejek oleh teman-
teman dan juga guru
tersebut mengatakan
bahwa kami semua
diharuskan bisa.
Mulai saat itu, saya
bertekad untuk
mengejar ketinggalan
saya. Saya rajin
mengulang dan
mempelajari pelajaran
yang belum saya
kuasai. Itu buat saya
benar-benar beban
karena waktu belajar
saya juga tidak banyak.
Bukan hanya itu,
pergaulan saya pun jadi
terbatas. Pernah suatu
kali ketika saya mau
pergi ke pesta ulang
tahun, ketika saya
hendak pamit, kakak
ipar saya bilang, "Ya
sudah, kalau sudah
sampe sana, ambil kue
langsung pulang saja."
Saya pikir, buat apa
saya ke sana kalau gitu.
Saya tahu dia masih
menganggap saya
anak-anak waktu itu,
tapi itu membuat saya
stress, membuat saya
tidak bebas. Menurut
orang kan masa SMA
itu masa yang paling
indah, tapi menurut
saya tidak. Memang
kakak saya itu sayang,
takut kalau saya brutal,
tapi itu membuat saya
jadi terkekang. Akhirnya
saya hanya bisa diam
dan memendam di
dalam hati. Hal itu
makin menambah
beban pikiran saya.
Saat di tengah ujian
masuk kuliah, rasa
sakit yang luar biasa
mulai mengganggu.
Apalagi ternyata soal-
soal yang diujikan
adalah soal-soal waktu
kelas 1 SMA. 'Ini nih
yang tidak saya suka,'
begitu pikir saya waktu
itu. Akhirnya saya mulai
sakit kepala. Tekanan
agar bisa masuk kuliah
mulai menyerang saya
dan membuat kepala
saya begitu sakit.
Akhirnya ketika saya
tidak diterima dimana-
mana, itu seperti
membuat cita-cita saya
kandas.
Tiap kali batin tertekan,
rasa sakit kepala itu
menyerang saya.
Mungkin buat saya,
saya kan tidak ada
teman, jadi kalau ada
apa-apa, semuanya
saya pendam sendiri.
Paling tidak tiga hari
pasti saya tergeletak.
Bagi saya kalau sudah
seperti itu, tidak makan
malam juga tidak apa-
apa, yang penting saya
bisa istirahat tidur.
Bukan perhatian yang
saya dapatkan tapi
malah perkataan ketus
dari sang kakak ipar
yang saya terima. Saya
merasa sangat sedih
dan takut. Sakit kepala
saya itu bukan sakit
kepala biasa. Pokoknya
kalau sudah mendera,
saya tidak bisa pergi ke
sekolah deh. Kakak ipar
saya malah bilang,
"Kalau sakit, ketok aja
pake palu, kan selesai?"
Rini tetap berusaha
menyenangkan kedua
hati kakaknya. Suatu
malam, saya berkeluh
kesah pada kakak laki-
laki saya. Saya tidak
pernah dikasih uang
sepeser pun untuk uang
jajan atau transportasi.
Jadi ketika malam itu
kakak ada di rumah,
saya memberanikan diri
mengutarakan uneg-
uneg. Seringkali saya
harus lihat dulu
bagaimana mood-nya
kakak atau bagaimana
perasaan dia. Kalau dia
bisa didekati, baru saya
dekati. Untuk minta ini,
minta itu rasanya berat
gitu sementara
kebutuhan terus
berjalan.
Protes saya tersebut
ternyata berbuntut
pertengkaran antara
kakak dan istrinya.
Untuk menebus
kesalahan saya, sekuat
tenaga saya menahan
sakit di kepala yang
semakin menjadi-jadi.
Saya coba minum obat
sakit kepala biasa, tapi
tidak ada pengaruh.
Menyadari sakit migrain
yang semakin parah,
akhirnya saya ke rumah
sakit bersama kakak
saya. Sewaktu
mengambil obat, saya
tanya kepada kakak
saya, "Mas, saya itu
sebenarnya sakit apa
sih?" Lalu kakak saya
menjawab,
" Sebenarnya kamu itu
kena gangguan pada
otak kamu, jadi kamu
tidak bisa mikir. Itu
karena kamu stress."
Waktu saya dengar itu,
air mata saya jatuh.
Pantesan saya tidak
bisa mikir, jadi
digimanain juga tetap
aja ga bisa mikir. Ada
juga malah stress kan?
Udah blank… Kenapa
juga baru sekarang
saya tahu, kalau sudah
tahu dari awal kan
ngapain juga dipaksain
kuliah?
Di mata saya, rasanya
tidak ada harapan lagi
untuk memiliki masa
depan. Keputusasaan
dan intimidasi
menghujam hati saya.
Saya takut masa
depan, takut mati juga.
Kalau migrain, kan saya
tidak bisa tidur. Di situ
ada bisikan. "Udah,
kamu bunuh diri aja,
kamu bunuh diri aja."
Saya pikir lha saya
takut mati kok malah
disuruh bunuh diri? Saya
akan kemana kalau
bunuh diri?
Saya terus menyimpan
kesedihan dan rasa
sakit yang menyiksa,
depresi yang hebat juga
mengambil seluruh
kehidupan saya.
Memang turun dari
tangga, tidak bisa jalan.
Untung saya mengajak
teman. Akhirnya di
sana, saya pingsan.
Nasib buruk tetap saya
alami. Ketika saya
kemudian mengalami
kelumpuhan, hubungan
saya dengan kakak ipar
saya mulai merenggang.
Kakak ipar kan tidak
mau ngomong saya, dia
mendiamkan saya. Saya
tambah beban lagi,
sudah saya sakit
tambah didiamkan. Kan
saya makin tidak bebas.
Mungkin sakit kepala
saya ini bisa sembuh
beberapa tahun
kemudian, tapi
bagaimana dengan kaki
saya?
Saya sudah benar-benar
putus asa. Dengan
sebuah keberanian,
saya menghubungi
kakak yang lain. Kakak
perempuan saya itu
kemudian datang dan
terkejut melihat
keadaan saya. "Lho lho
lho, kok kamu tidak bisa
berdiri? Kok kamu
seperti daging yang
tidak ada tulangnya?"
itulah tanggapan kakak
saya waktu itu. Saat
itu, saya pengen segera
keluar dari rumah itu.
Saya nggak usah kuliah
dulu deh.
Berawal dari sebuah
telepon dari seorang
teman yang
menyarankan agar saya
didoakan, sebuah titik
terang tampak di
hadapan saya. Di rumah
seorang hamba Tuhan,
saya kemudian
menceritakan isi hati
saya untuk pertama
kalinya. Saya ditantang
oleh hamba Tuhan
tersebut.
"Kamu mau sembuh?"
katanya.
"Mau," kata saya
"Kamu percaya?"
Waktu ditanya itu, saya
agak diam juga.
Lalu Pak Ferry Panjaitan
berkata, "Saya juga
sudah mengalami
kesembuhan. Kalau kau
rasakan sakit kau harus
katakan begini, 'Oleh
bilur-bilur darah Yesus,
saya sembuh. Itu hanya
perasaan daging',"
katanya. Itulah yang
saya katakan.
Untuk kedua kalinya,
saya kembali ditantang.
Saat itu, saya mulai
memiliki keyakinan
untuk sembuh. Sebuah
mukjizat pun terjadi.
Saya ditantang untuk
dapat berjalan. Waktu
itu saya berusaha agar
bisa berjalan. Waktu
disuruh lompat, saya
mencoba melakukannya
dan saya berhasil.
Kenapa nggak dari dulu
ya ketemu dengan
Tuhan Yesus ya?
Saya semangat banget.
Setiap hari saya terus
mencoba berjalan walau
untuk berdiri selama 5
menit saja saya tidak
sanggup. Tapi saya
tetap berlatih seakan
ada suatu kekuatan
baru. Kesembuhan itu
membawa perubahan
total dalam kehidupan
saya. Saya bahkan
mengambil keputusan
untuk mengampuni
kakak dan kakak ipar
saya.
Memang dulu sebelum
saya terima Tuhan
Yesus, saya takut
masa depan, saya
takut mati. Tetapi,
setelah saya mengenal
Yesus, saya tahu hidup
itu indah. Tuhan ijinkan
masalah itu terjadi
untuk memproses saya
untuk semakin dewasa
dalam iman kepada
Tuhan. Dan saya tahu
bahwa di dalam
masalah itu, ketika kita
mengucap syukur, ada
mukjizat dan kuasa
yang terjadi dan itu
yang saya alami.
Kini bersama suami dan
anak saya, saya
merasakan kehidupan
yang luar biasa tanpa
dibayangi penyakit
apapun. Buat saya,
Tuhan Yesus itu
dashyat luar biasa dan
membuat saya ingin
mengenal kasih-Nya
lebih lagi dan saya juga
rindu Tuhan Yesus
terus ada menyertai
kehidupan saya. (Kisah
ini ditayangkan pada
acara Solusi Life di O
Chanel tanggal 1
September 2010)
Sumber Kesaksian :
Djawa Rini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar