Pada masa mudanya,
kehidupan Sandy Suardi
dengan teman-
temannya banyak
dihabiskan di terminal.
Dia terlibat dalam
narkoba, terlibat
perjudian, dan juga
menjual narkoba. Sandy
merasakan kebebasan
yang keluar dari dalam
hatinya selama bergaul
dengan teman-teman di
jalan.
Terbuai dengan
kehidupan yang
ditawarkan oleh dunia,
Sandy semakin liar.
"Saya berjalan bersama
dengan teman-teman.
Di sanalah saya merasa
seperti orang yang
merdeka pada waktu
itu. Di jalanlah kami
berkelahi karena kami
sempat bertemu
dengan musuh, geng
jalanan lain. Kondisi saya
waktu itu dalam kondisi
mabuk berat. Saya
pukul dia seolah seperti
saya pukul papa saya."
Tentu saja ada
alasannya kenapa dia
ingin memukul papanya
dan membayangkannya
ketika memukul
musuhnya. Pada waktu
kecil, Sandy kalau
pulang sekolah, buka
pakaian dan langsung
mandi di sungai. Waktu
papanya tahu, dia
langsung dilempari batu.
Ketika dia keluar dari
sungai dan ke tempat
papanya, dia dipukul
dengan ikat pinggang
sampai tubuhnya
memar dan sampai dia
kesakitan.
"Waktu Sandy mandi di
kali, saya sangat marah
sekali." ucap ayah
Sandy dalam
kesaksiannya. "Tujuan
saya memukul dia,
karena saya ingin
mendisiplinkan dia."
lanjutnya kemudian.
Perlakuan sang ayah
membuat luka yang
dalam di hati Sandy,
ditambah lagi kejadian
tragis yang terjadi di
depan matanya.
Suatu kali, sang papa
marah kepada
mamanya karena
pisang yang dibelinya
tidak karuan rasanya.
Mereka sering berkelahi
gara-gara hal kecil,
mulai dari bertengkar
mulut, saling mencaci
maki, sampai
kekerasan yang
dilakukan oleh papanya.
Hal-hal seperti itu sering
dilihat oleh Sandy.
"Saya peluk mama
saya, saya juga bilang,
'Papa jangan, papa
jangan pukul mama'.
Dari situlah muncul
benih-benih kebencian di
hati saya. Saya sempet
berpikir, kalau saya
besar, saya akan lawan
papa saya, bila perlu
saya bunuh papa saya.
Karena saking bencinya
kepada papa saya
waktu itu." itulah yang
dirasakan Sandy saat
menyaksikan
pertengkaran
orangtuanya.
Jadi, ketika Sandy
memukul musuhnya,
dia seperti
melampiaskan semua
kekecewaan yang dia
alami kepada musuhnya
tersebut. Dia pukul, dia
injak-injak, sampai
musuhnya minta
ampun pun tidak
membuat Sandy
berhenti memukulinya.
Bukan hanya itu, Sandy
mencari jati dirinya
dengan cara yang salah,
ditambah lagi kepahitan
terhadap ayahnya,
Sandy mabuk-mabukan.
Dia semakin hari
semakin terjerat oleh
kehidupannya yang sia-
sia.
"Saya berusaha
merusak diri saya,
supaya papa lihat diri
saya itu, dia menangis
lihat saya. Supaya papa
itu kecewa. Saya
berusaha membalas
kepahitan saya dengan
sikap saya. Pada waktu
saya sedang minum,
sepertinya masalah itu
hilang begitu saja. Tapi
begitu saya pulang ke
rumah, melihat kondisi
keluarga saya, melihat
papa saya, saya
merasakan kembali
merasakan
kekecewaan."
Jiwanya diselimuti rasa
sakit hati dan dendam
terhadap sang ayah.
Perbuatan nekat pun
siap dia lakukan.
"Karena kehidupan yang
penuh dengan tekanan,
kebencian kepada papa
disertai dengan
kekecewaan dan
kemarahan, membuat
saya mengambil
keputusan untuk bunuh
diri. Saking marah dan
jengkelnya, saya
menabrakkan diri ke
kendaraan. Saya saat
itu ada di tengah jalan.
Saya pikir "Ya sudahlah
saya mati saat ini juga
nggak apa-apa'."
Namun, rupanya Tuhan
berkehendak lain. Saat
Sandy pasrah terhadap
aksi bunuh dirinya
tersebut, ternyata
mobil yang hendak ia
tabrak dapat berhenti
tepat pada waktunya.
"Justru kendaraan itu
berhenti, dan marah-
marah kepada saya."
kisah Sandy kemudian.
Lolos dari maut, Sandy
tetap menyimpan rasa
sakit terhadap sang
ayah sampai ke
pernikahannya. Setelah
menikah, sang istri pun
menjadi korban
pelampiasannya. "Saya
melihat ada hal-hal yang
mengganjal dalam hati
saya, saya masih suka
marah-marah, emosi
yang tinggi, sehingga
istri saya melihat saya
itu seperti papa saya."
Tjandra Indralani, sang
istri pun ikut berkisah,
"Kalau sudah marah,
suami saya suka
banting pintu, suka
jedukin kepalanya ke
tembok, begitu.
Kadang-kadang remote
TV dilempar begitu
saja. Jadi kadang-
kadang kita yang nggak
tahu apa-apa, kok
begini. Saya cuma
berdoa, terus berpikir
kenapa bisa begini,
padahal dalam keluarga
saya, saya tidak pernah
diperlakukan begini."
Dan tentu saja, sang
istri terus menjadi
bulan-bulanan Sandy
sampai suatu hari.
Sandy diajak temannya
untuk mengikuti
kegiatan yang
dikhususkan untuk pria.
Di sanalah dia
mengalami pengalaman
baru. "Ada pergolakan
dalam hati saya, ketika
saya sedang menonton
suatu tayangan
tentang bagaimana
seorang ayah mengasihi
anaknya. Saya
diingatkan bagaimana
masa lalu saya.
Bagaimana perlakuan
papa kepada saya,
bagaimana perlakuan
papa kepada mama
saya. Saya menangis
saat itu juga. Saya
diingatkan Tuhan
bagaimana kehidupan
saya yang dulu."
Kemudian Sandy
teringat suatu
pengalaman hidupnya
sebelum dia mengikuti
kegiatan ini. Dia masih
mabuk berat saat naik
angkutan untuk pulang
ke rumah. Dia meminta
supir untuk berhenti di
jalan dekat rumahnya,
namun anehnya kenek
dan supir angkutan itu
malah menurunkan dia
di tempat ibadah.
"Ketika tiba di tempat
ibadah, saya
mendengar sebuah
nyanyian yang sangat
indah." Dengan rasa
penasaran dalam
hatinya, Sandi kemudian
masuk ke tempat
ibadah tersebut.
"Ternyata ada
beberapa orang yang
sedang berkumpul,
mereka sedang berdoa.
Ketika itu, saya melihat
sebuah cahaya yang
sangat terang, begitu
kuat sinarnya. Dan di
balik cahaya itu saya
mendengar sesuatu."
"Sandy, Aku
mengasihimu. Sandy,
Aku mengasihimu…"
kata suara itu.
"Saat itulah saya
langsung menangis
terisak-isak. Di situlah
apa yang saya alami
selama ini, dengan
beban yang begitu
berat, terlepas oleh
kata-kata itu. Saya
mengambil keputusan
untuk meninggalkan
sifat-sifat saya yang
lama, kebiasaan saya
yang buruk.
Diingatkan peristiwa
masa lalunya tersebut,
membuat hatinya
tersentuh. Saat itulah
Sandy merasakan hal
yang berbeda. "Saya
melihat bagaimana
Yesus yang begitu luar
biasa mau melepaskan
pengampunan,
sekalipun saya begitu
hina, saya begitu kotor.
Tetapi Yesus mau
menerima saya apa
adanya. Saat itulah
saya mengambil
keputusan untuk saya
bisa berubah, dengan
cara melepaskan
pengampunan kepada
papa saya. Saya
merasakan kehangatan
yang luar biasa. Ada
damai sejahtera yang
saya rasakan ketika
saya mengatakan,
'Papa, saya
mengampuni papa,
sama seperti Tuhan
Yesus mengampuni
saya'."
Sejak mengikuti
kegiatan khusus pria
tersebut, Sandy mulai
berubah. "Selama itu,
dia betul-betul berubah
100%. Dia tidak pernah
marah-marah, bentak-
bentak, dia yang
dulunya tidak mau
mengalah jadi mau
mengalah gitu, jadi
keluarga kita jadi
harmonis kembali
begitu." kisah istrinya.
Hilang sudah luka yang
disimpannya selama
bertahun-tahun. "Ketika
saya mengambil
keputusan untuk
menempatkan Yesus
dalam hati saya, saya
bisa menerima papa
saya dalam kondisi
apapun juga.
"Sekarang Sandy tidak
benci lagi kepada saya,
sekarang hubungan
saya dengan Sandy
sangat harmonis dan
mesra sekali," ungkap
sang papa, Gouw Siang
Bie. "Saya melihat
Yesus sebagai bapak
yang baik, tidak perlu
banyak aturan, tidak
perlu syarat ini dan itu,
Dia mau menerima saya
apa adanya. Setiap luka
saya sudah
disembuhkan oleh
Tuhan Yesus." kata
Sandy mengakhiri
kisahnya. (Kisah ini
ditayangkan pada acara
Solusi Life di O Chanel
tanggal 25 Agustus
2010)
Sumber Kesaksian :
Sandy Suardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar