Selasa, 05 Oktober 2010

Mimpiku Jadi Tentara Buatku Jadi Pecandu

Saya bernama Hotmauli
Marpaung, dan saya
telah divonis dokter
mengidap HIV + dan
AIDS. Idola saya adalah
ayah saya sendiri, dia
seorang tentara yang
sangat saya kagumi.
Cita-cita saya semenjak
kecil adalah menjadi
seperti ayah saya,
seorang tentara.
Penglihatan saya
mengalami gangguan,
hal ini diketahui
sewaktu saya SMA.
Saya tidak pernah mau
memakai kaca mata
karena saya ingin
sembuh. Karena saya
tahu, jika penglihatan
saya tidak jelas sudah
pasti saya tidak bisa
menjadi tentara
akhirnya saya
melampiaskan
kekecewaan dan rasa
frustrasi dengan
mengkonsumsi
narkoba.
Ketika ayah saya
mengetahui bahwa
anaknya memakai
barang-barang haram
itu, dia sangat sedih.
Namun hal itupun tak
bisa menghentikan
kecanduan saya pada
narkoba. Bahkan dengan
jahatnya, saya
mengelabuhi ayah
untuk menuruti
keinginan saya membeli
putaw.
Saya bilang pada ayah,
"saya benar-benar ingin
berhenti pak. Tapi saya
punya keinginan untuk
membeli barang itu pak.
Saya cuma ingin
merasakan beli barang
itu pak."
Ayah saya sering saya
sakiti, barang-
barangnya sering saya
jual untuk membeli
narkoba. Tidak berhenti
disana, adik saya pun
harus menderita
bahkan pernah saya
pukul supaya saya bisa
mendapatkan apa yang
saya mau. Disana saya
sadar saya telah gagal
menjadi seorang abang
yang harusnya
melindungi dan
mengasihi ayah saya,
namun saya tak bisa
lepas dari kecanduan ini.
Hingga suatu malam,
saya merasa ada
sesuatu yang aneh
dirumah saya. Akhirnya
saya memutuskan
untuk menginap
dirumah teman saya.
Namun entah
bagaimana, hal itu
diketahui oleh ayah.
Saya diambil paksa oleh
ayah dengan dibantu
beberapa orang pria.
Saat itu saya berteriak-
teriak pada ayah,"Saya
mau dibawa kemana ini
pak? Tolonglah, saya
jangan dibawa pak...!"
"Ya udahlah li.. kau ikut
saja.. baik-baiklah kau
disana..." kata ayah
saya sambil menangis.
Itulah cerita bagaimana
akhirnya saya bisa
berada dipanti
rehabilitasi. Saya ditaruh
disebuah ruang isolasi,
dan sebuah rasa takut
muncul dalam pikiran
saya,"Apakah ini cara
keluarga saya untuk
membuang diri saya?"
Dari ruang isolasi saya
dipindahkan keruang
pembinaan, dan tidak
ada kegiatan yang bisa
saya lakukan selain
membaca, jadi saya
membaca Alkitab. Pada
waktu pertama kali
tidak ada sesuatu yang
istimewa yang saya
dapat dari firman
Tuhan. Namun setelah
beberapa hari, timbul
dalam hati saya
pertanyaan,"Apakah
benar, fiman ini adalah
firman yang hidup?
Apakah benar segala
perkara bisa saya
tanggung didalam Dia?
Pada waktu saya
sakau, dan saya
berteriak, apakah benar
saya bisa
mengandalkan Tuhan?
Saya ingin mencoba itu,
kalau memang benar
kalau Dia adalah
jawaban bagi hidup
saya."
Hal itulah akhirnya yang
membuat saya
memegang firman
Tuhan yang saya baca
dalam menghadapi
saat-saat sakau.
Hingga suatu kali saat
rasa sakit karena sakau
itu menyerang, saya
hanya bisa
menyanyikan lagu
ini,"Ajaiblah Tuhan,
penuh kuasa. Sangup
pulihkan keadaaan ku."
Tiba-tiba saya
merasakan sesuatu
yang hangat mengalir
pada tubuh saya. Disitu
kesadaran akan dosa
muncul dalam hati saya.
Saya berdoa meminta
ampun kepada Tuhan
atas apa yang telah
saya buat, dan saya
merasa Tuhan itu
begitu baik, karena
hingga saat ini saya
masih hidup. Selesai
saya berdoa, saya
merasa rasa sakit pada
tubuh saya hilang. Pada
saat itu saya sadar
bahwa Tuhan itu begitu
nyata.
Mulai hari itu, saya mulai
mencari Tuhan
sungguh-sungguh. Saya
mau makan firman
Tuhan itu dan tetap
mau tinggal didalam
Kristus. Secara tidak
sadar, melalui firman
Tuhan yang masuk
dalam hidup saya, saya
dibebaskan dari
keterikatan pada
narkoba. Kehidupan
saya yang hancur
dipulihkan, demikian
juga dengan hubungan
saya dengan keluarga.
Kini saya bebas dari
ketergantungan pada
narkoba yang telah
mengikat saya selama
14 tahun.
Walaupun saya divonis
mengidap HIV + bahkan
AIDS, saya dapat
menerimanya karena
kasih Tuhan yang
memampukan saya.
Tuhan Yesus adalah
segalanya bagi saya,
karena Dia adalah
jawaban bagi hidup
saya. (Kisah ini sudah
ditayangkan pada 5
Oktober dalam acara
Solusi Life di O'Chanel).
Sumber kesaksian:
Hotmauli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar