Waktu kecil, saya,
Edwin Tanalisan, tinggal
dan dibesarkan oleh
nenek dari papa. Saat
itu, saya benar-benar
merasakan apa itu
kasih sayang. Namun
ketika saya dipulangkan
kepada orangtua saya,
yang ada malah
sebaliknya. Sehingga
dari waktu ke waktu,
bila siang saya ke
rumah nenek dan
rumah orangtua hanya
dijadikan sebagai
tempat tidur.
Saya lalu mulai mencari
kebahagiaan di luar.
Dengan pergaulan yang
tidak benar. Semakin
saya dewasa, makin
membentuk kejahatan
dalam diri saya.
Saya bekerja sebagai
penagih hutang waktu
itu. Ada beberapa
waktu, saya bisa
mendapatkan uang
banyak. Waktu kita
habis menagih uang,
kita bisa bagi
Rp.20.000.000 jadi 6
(yang waktu itu saya
anggap terlalu besar
buat saya), Sedangkan
saya bekerja dengan
gaji cuma Rp.500.000,-/
bulan. Hal tersebut
membuat saya
terbawa dengan
keadaan kegelimangan
harta. Saya makin
tenggelam dan
mempunyai hubungan
gelap. Yang memang
gila juga, saya kost-in
partner gelap saya ini
dekat rumah.
Tidak hanya itu. Saya
semakin menggila. Jadi
obat yang saya pakai
itu bukan hanya satu
dua tiap harinya, tapi
lebih dari 10 buah.
Ketika mulai memakai
ekstasi, di sanalah saya
mulai temukan seperti
ada kasih sayang yang
dominan. Kalau saya
ngomong dengan orang,
kayaknya enak benar.
Ada kasih sayang yang
luar biasa, ada sukacita
yang luar biasa. Kalau
mungkin saya ga
minum itu, mungkin
suasananya biasa saja.
Karena obat itu, kalau
ada sedikit musik saja
saya sudah merasa
sangat bahagia. Saya
makin jauh tenggelam.
Kenapa saya katakan
begitu? Karena ketika
saya tidak
menggunakan obat itu,
kenyataannya adalah
saya begitu merasa
terasing dalam keluarga
saya sendiri pun. Saya
jauh dari bahagia.
Tapi karena saya cinta
mati pada pekerjaan ini,
saya pernah berpikir
tidak apa bila saya mati
karena overdosis,
karena saya cinta
dengan pekerjaan dan
kehidupan yang seperti
ini.
Suatu ketika, ketika
istri dan anak saya
tertua sedang berjalan
ke luar rumah, mereka
melihat motor saya
diparkir di kost
tersebut. Mereka
mendatangi kost
tersebut. Setelah pintu
yang diketok-ketok
tidak dibuka, mereka
masuk dengan
membuka paksa pintu.
Mereka melihat saya
tidur dengan
selingkuhan saya.
"Tapi dia tidak mengaku
hal itu sama saya kalau
itu memang
simpanannya," kisah
Jamila Tanalisan, istriku.
"Ini teman papa..."
kataku waktu itu
ketika ditanya.
Sedangkan anak saya
yang tertua, Emilia
Magda Tanalisan,
menjadi trauma karena
hal tersebut. "Pada saat
itu, saya menjadi anak
yang nggak bisa ngapa-
ngapain gitu... sama
sekali ga bisa nolongin
mama dan cuma bisa
melihat seseorang yang
membuat aku ada di
dunia ini bisa berbuat
begitu dan tiba-tiba aku
merasa sama sekali
nggak sanggup melihat
hal itu." aku Emilia.
Malam itu, saya pulang
ke rumah dan meminta
ampun kepada istri
saya, saya berjanji
tidak akan melakukan
hal seperti itu lagi.
Sebegitu bencinya Emil,
anak saya kepada saya,
dia pernah berpikir
kenapa Tuhan masih
memperbolehkan saya
hidup karena tidak ada
gunanya saya hidup.
Karena memang uang
yang saya dapatkan,
tidak pernah sepeser
pun saya berikan
kepada keluarga.
Mereka berjuang sendiri.
Belum lagi perlakuan
saya kepada Emilia. Dulu
waktu dia belum lahir,
saya berharap bahwa
anak pertama saya
adalah seorang laki-laki,
karena saya
mempunyai
kebanggaan sebagai
seorang laki-laki, saya
berharap dapat
mempunyai keturunan.
Ketika yang lahir adalah
anak perempuan,
muncul kekecewaan
dalam hati saya. Namun
hal ini tidak pernah saya
ungkapkan dalam
keluarga saya.
Menurut saya, saya ini
seorang pengecut.
Karena saya berani
memukul anak kecil
yang tidak punya
kemampuan. Kalau saya
kesal sedikit saja, anak
sulung saya ini, paling
sering saya pukul. Saya
perlakukan dia seperti
anak tiri padahal bukan.
Saya pernah pukul dia,
banting dia, saya injak,
saya pernah tendang
dia. Saya pikir saya ini
tidak layak jadi
orangtua dari anak-
anak saya.
Istri saya selalu yakin
bahwa doa yang dia
panjatkan tidak pernah
sia-sia. "Setiap hari kita
minta itu pada Tuhan.
Tuhan, tolong
kembalikan dia, tolong
pulihkan dia supaya dia
bisa melihat keluarga."
Kata Jamila, karena
waktu itu anak-anak
masih kecil.
Suatu hari, saat saya
sedang sendirian, tidak
ada siapa-siapa di situ,
saya hanya ditemani
oleh bir dan rokok. Tiba-
tiba, ada sebuah suara
yang lembut sekali tapi
jelas berkata," Kalau
hari ini Saya panggil
kamu, kamu kemana?"
Suara itu berbisik tapi
tajam di dalam hati
saya. Saat itu, mulai
timbul pertanyaan. Iya
juga, kalau Tuhan
panggil saya hari ini,
saya akan kemana?
Tidak ada pilihan lain,
hanya neraka dan
neraka.
Malam itu perubahan
besar terjadi dalam
hidup saya. Saya
meninggalkan diskotik
yang menjadi kehidupan
saya selama ini dan
narkoba serta
selingkuhan saya juga.
Setan tidak tinggal
diam, banyak tawaran
dari diskotik yang
waktu itu tahu saya,
mengajak saya untuk
kerja di sana. Tapi saya
bertekad, saya mau
mencari tempat dimana
saya bisa mengenal
Tuhan lebih dekat lagi.
Saya mulai mencari
tempat, saya mencari
Tuhan dalam ibadah
yang saya ikuti. "Tuhan,
saya serahkan
sepenuhnya kehidupan
saya. Apa yang Tuhan
mau saya perbuat,
saya mau ikut saja."
Firman itu seperti
muncul dalam
kehidupan saya, Dia
ngasih tahu bahwa
saya harus membuat
pengakuan. "Kalau kamu
mau bertobat sungguh-
sungguh, kamu tidak
bisa simpan apa yang
pernah kamu lakukan.
Kalau yang kelihatan
saja kamu simpan,
apalagi yang tidak
kelihatan."
Pribadi saya sendiri
berkata, mana mungkin
saya memberitahu istri
saya perbuatan apa
saja yang saya lakukan,
namun saya harus
kasih tahu. Saya
kumpulkan keluarga
saya malam itu jam 11
malam, saya kasih tahu
semua yang pernah
saya perbuat kepada
istri saya.
Ternyata semua tidak
seperti yang saya
harapkan. Anak tertua
saya menolak
permintaan maaf saya.
Emil ragu apakah saya
sungguh-sungguh.
Namun kemudian, tiga
bulan kemudian, persis
jam 11 malam, Emil
membangunkan saya.
Dia memeluk saya, dia
minta ampun. Dia
mengasihi saya. Itu
adalah hal yang luar
biasa, Tuhan pulihkan di
situ, Tuhan baik, Tuhan
terlalu baik. Itu baru
saya dapat. Inilah
rumah tangga yang
saya inginkan, Tuhan.
Pemulihan akhirnya
dapat dirasakan oleh
keluarga ini, perubahan
terjadi dalam hidup
saya. "Udah ga jagoan
kayak dulu lagi ya...
Sekarang jauh lebih
memperhatikan mama,
memperhatikan anak-
anaknya dan berusaha
selalu ada di saat kita
membutuhkan dia."
ungkap Emilia kemudian.
"Kemanapun, sampai ke
pasar pun sekarang
saya sama-sama. Tiap
hari, mau hujan, mau
panas, tetap antar ke
pasar." kata Jamila.
Ketika kehadiran Tuhan
Yesus memulihkan, di
situlah hadir suka cita.
Waktu dulu Tuhan
Yesus bertanya kepada
saya, bila Dia
memanggil saya saat
ini, sekarang saya bisa
menjawab bahwa
hanya ada satu
jawaban buat saya,
saya akan ke surga.
(Kisah ini ditayangkan
pada acara Solusi Life di
O Chanel tanggal 18
Agustus 2010)
Sumber Kesaksian :
Edwin Tanalisan
om edwin, bawalah selalu dimas dalam doa. biar Tuhan ikut bekerja dalam keluarga om edwin agar bisa menerima kehadiran dimas sebagai anak om edwin yang sejak lahir belum pernah bertemu ayah kandung na om edwin tanalisan. Tuhan memberkati
BalasHapus