Kamis, 02 September 2010

Mardi, Pencuri Yang Ditangkap Tangan Tuhan

Melihat sang ibu dipukuli
oleh ayahnya yang
sedang mabuk sudah
menjadi pemandangan
sehari-hari bagi Mardi
kecil. Ketika ia tak tahan
lagi melihat ibunya
dipukuli oleh ayahnya,
Mardi yang masih
berusia enam tahunan
itu berusaha menahan
ayahnya. Namun tanpa
rasa kasihan sang ayah
bahkan memukulinya
juga. Pukulan-pukulan
sang ayah yang
mendarat ditubuhnya
dan juga ditubuh ibu
yang ia kasihi begitu
membekas dihatinya,
yang membuatnya
membenci sang ayah.
Dengan bertambahnya
hari, rasa sakit hati
pada sang ayah
bukannya makin
terobati malah menjadi
semakin besar.
Pasalnya, suatu hari
Mardi kecil dipaksa
untuk berhenti sekolah
pada hal ia ingin duduk
di bangku pendidikan
seperti teman-
temannya yang lain.
Rasa marah dan
kecewa dalam hatinya
membuat Mardi
akhirnya bergaul dengan
anak-anak nakal.
"Saya terikut dengan
kawan-kawan. Saya
mencuri ayam, telor dan
apa aja yang ada. Kalau
orangtua saya pergi
kesawah, saya curi,
padi, kelapa, pokoknya
apa yang ada lah…"
demikian Mardi
menuturkan riwayat
masa kecilnya. "Dan
berapapun yang saya
dapat dari mencuri itu,
saya habiskan untuk
main judi.
Mardi tidak berhenti
dengan mencuri isi
rumahnya dan
tetangganya saja,
bahkan dengan usia
sekecil itu dia sudah
berani mencuri dari
sebuah warung.
Keberhasilannya dalam
melakukan beberapa
kali pencurian semakin
membuat Mardi besar
kepala, hingga dia
melakukan sebuah
tindakan yang terbilang
nekat. Waktu itu
rumah-rumah masih
terbuat dari kayu dan
beralaskan tanah. Mardi
menggali tanah
disamping rumah
tetangganya untuk
membuat jalan masuk
menerobos rumah
tersebut dan
melakukan pencurian.
Namun sepertinya
keberuntungan Mardi
sudah habis, saat
sedang berusaha
membawa kabur
barang curian, dirinya
tertangkap. Akibatnya,
karena perbuatannya
itu Mardi harus
merasakan dikurung di
balik jeruji penjara.
Namun pengalaman
pahitnya berada di
penjara tidak membuat
Mardi jera juga. Ketika ia
bebas, Mardi kembali
mencuri dan mabuk-
mabukan.
"Dulu ada rasa
ketakutan itu,
'bagaimana ya kalau
kita ketahuan nanti?'
Tapi kami sudah
pasrah, kalau harus
mati.. ya matilah.."
Karena tidak seorang
pun yang bisa membuat
Mardi berhenti dari
kehidupannya yang
buruk, akhirnya hingga
dewasa ia terus terlibat
dalam berbagai
tindakan kriminal.
Bahkan wanita yang
dicintainya Ristiani
Situmorang dan ia nikahi
tidak dapat mengubah
kehidupan Mardi.
"Ketika saya sudah
menikah, saya masih
pacaran dengan
seorang janda. Saya
sering pulang malam
dalam keadaan mabuk,
bahkan sering memukuli
istri. "
Sepertinya kebiasaan
sang ayah yang
dibencinya melekat
dalam hidup Mardi. Apa
yang pernah ayahnya
lakukan pada ibunya
dan dirinya, kini
dilakukannya kepada
sang istri dan anak.
Bahkan demi hobi judi
dan minuman kerasnya,
ia rela membuat istri
dan anaknya kelaparan.
"Saya suruh dia utang,
'Kalau kamu ngga mau,
aku tendang!'" demikian
Mardi menceritakan
kekejamannya.
Bosan dengan keadaan
di kampung, Mardi pun
memutuskan untuk
merantau ke ibukota
tanpa memikirkan
keadaan anak istrinya.
Namun karena ingin
tetap mempertahankan
rumah tangganya, sang
istripun menyusul Mardi
ke Jakarta. Tetapi
ibukota ternyata tidak
membuat Mardi
semakin baik, bahkan ia
semakin terjerumus
dalam ilmu kebatinan.
"Di Jakarta ini kan lebih
berharga ayam daripada
manusia. Jadi saya
minta ilmu kekebalan.
Ternyata setelah
memakai itu, memang
nyata. Saya memakai
itu supaya saya lebih
disegani oleh orang.
Tapi itu nyata, ada
yang mau ribut lalu
saya pecahkan gelas
lalu saya makan kaca
itu. Lalu mereka itu
takut."
Namun tanpa
disadarinya, ilmu itu
membuatnya semakin
kejam. Dirumahnya, istri
dan anaknya menjadi
korban keberingasan.
"Kalau saya pukul istri
itu, macam orang
kesetanan saya.."
Akibatnya, kepala sang
istri beberapa kali bocor
karena pukulan dan
dihantamkan ke
tembok. Tak kuat
dengan perlakuan Mardi,
sang istri sering
menangis dan
merasakan penyesalan
yang sangat dalam
karena dulu pernah
diperingatkan oleh
ibunya untuk tidak
menikahi Mardi namun
tidak dihiraukannya.
Bahkan sang anak tak
luput dari kekejaman
Mardi, dia bahkan
pernah memaksa
anaknya yang masih
kecil untuk memakan
pecahan gelas.
"Saat itu saya teringat
saat dikejar oleh bapak
saya sampai ke sawah-
sawah. Dendam kepada
ayah, saya lampiaskan
kepada anak saya. Jadi
badan saya ini panas,
tidak bisa ketemu anak
saya. Bahkan saya
pernah buat tangan
anak saya patah."
Perlakuan buruk sang
suami, akhirnya
membuat Ristiani tidak
tahan lagi. Ia akhirnya
memutuskan untuk
pergi bersama anaknya.
Namun ditengah jalan
Ristiani teringat kembali
akan suaminya, dan
membuatnya kembali
kerumah.
"Saya sudah naik mobil,
tapi pulang lagi
kerumah. Karena hati
saya gelisah, akhirnya
saya pulang kembali
menjumpai dia. Karena
anak juga, supaya
rumah tangga agar
kelihatan bagus,"
demikian ungkap
Ristiani tentang
penderitaannya saat
itu.
Ditengah
keputusasaannya,
Ristiani tidak pernah
melepaskan
kepercayaannya kepada
Tuhan. Sekalipun ada
tetangga yang
menyarankan agar dia
ke dukun untuk
mengubah suaminya,
namun Ristiani tidak
mau.
"Saya tidak mau ke
dukun, saya hanya
berharap kepada Tuhan.
Kalau dia pulang dalam
keadaan mabok, saya
berdoa, saya menangis
kepada Tuhan. 'Tuhan,
kalau saya ke dukun
dengan orang, suami
saya tambah gila nanti.
Tambah stres. Saya
percaya Tuhan sanggup
memulihkan rumah
tangga kami. Saya
mencintai suami saya,
karena kami sudah
dipersatukan oleh
Tuhan."
Doa Ristiani ternyata
tidak sia-sia, suatu
saat Mardi bersedia
diajak ke Puncak, Bogor
untuk mengikuti sebuah
pertemuan.
"Pergi ke Puncak
beberapa hari, enak
juga ya tidur-tiduran
disana. Saya pikir begitu.
Ternyata disana ada
ibadah. Saya duduk
dibelakang. Saya
mendengar suara,
'Bertobatlah..bertobatlah
sebab kerajaan Allah
sudah dekat.'"
Namun Mardi masih
mengeraskan hati,
bahkan ia meninggalkan
ibadah itu untuk
merokok. Ketika ia
selesai, ia kembali
duduk dan mendengar
suara yang sama tiga
kali, "Bertobatlah,
sebab kerajaan Allah
sudah dekat." Akhirnya
Mardi maju dan minta di
doakan.
"Saya menangis, saya
merasa lemas waktu di
doakan," demikian Mardi
menceritakan
pengalamannya
bersama Tuhan.
Saat itu juga, Mardi
membuat keputusan
yang penting, yaitu
melepaskan ilmu-ilmu
kebatinan yang
dimilikinya, "'Kalau
Engkau memang nyata
Tuhan, cabutlah dari
badanku ini semua yang
kupegang.' Memang
benar, begitu saya di
doain ada yang keluar,
muntah."
Begitu merasakan
jamahan Tuhan,
Mardipun langsung
mengakui semua dosa-
dosanya dan memohon
pengampunan dari
Tuhan.
"Ampuni semua dosa-
dosaku Tuhan. Aku
menyesal Tuhan,
ampuni semua
pelanggaranku. Aku
pernah melawan orang
tua, aku memukuli
anak-anak dan istriku.
Kau yang berkuasa atas
hidupku Tuhan. "
Sepulang dari Puncak,
Mardi mendatangi istri
dan anaknya dan
meminta ampun atas
apa yang pernah ia
lakukan pada istri dan
anaknya. Kini, Mardi
yang kejam dan suka
mabuk-mabukan itu
tinggal sejarah. Mardi
telah menjadi manusia
yang baru, menjadi
pribadi yang takut akan
Tuhan dan mengasihi
anak-anaknya.
"Buat saya, Yesus itu
sangat luar biasa.
Kuasanya begitu besar,
sangat dasyat," ungkap
Mardi. (Kisah ini
ditayangkan 2
September 2010 dalam
acara Solusi Life di
O'Channel).
Sumber kesaksian:
Mardi Nainggolan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar