Kamis, 16 September 2010

Mengampuni Yang Tak Terampuni

"Keluarga saya pernah
bilang, kalau suami
sudah mengancam istri
dengan senjata tajam,
kalau saat ini tidak
sampai terluka, suatu
saat nanti pasti akan
terjadi," kata Rebeka.
Dan ternyata ucapan
keluarganya itu
memang benar terjadi.
Pertemuan Dengan
Suami
Rebeka bertemu
dengan suaminya yang
bernama Tarigan di
Pekan Baru. Pada waktu
itu Tarigan bekerja
sebagai salah seorang
karyawan perkebunan.
Hampir setiap hari
Tarigan mampir ke
warung milik saudara
Rebeka untuk membeli
barang. Rebeka yang
pada waktu itu sudah
memiliki kekasih hanya
memandang Tarigan
dengan sebelah mata,
terlebih lagi karena
pendiriannya yang keras
untuk tidak menjalin
hubungan dengan
Tarigan. Karena ia
melihat Tarigan sering
menenggak minuman
keras dan juga bersifat
kasar. Namun setelah
Tarigan memikat
Rebeka dengan sebuah
ilmu pelet, Rebeka pun
akhirnya jatuh hati
kepadanya dan mulai
sering memikirkan
keberadaan Tarigan
setiap hari. Ia
meninggalkan
kekasihnya dan
menjalin hubungan
dengan Tarigan.
Pernikahan Dengan
Tarigan
Setelah berpacaran
selama 3 bulan, Rebeka
dan Tarigan
memutuskan untuk
menikah di tahun 1986.
Istilah Bataknya,
mereka dipasu-pasu di
Medan. Di awal
pernikahan mereka,
sifat asli Tarigan mulai
kelihatan. Ia sering
bersikap kasar kepada
istrinya, mabuk-
mabukan dan bermain
judi. Jika ada sesuatu
yang membuatnya
emosi maka ia akan
melempar barang-
barang yang ada di
rumahnya dan selalu
mengancam Rebeka
dengan sebuah pisau
parang.
Selain mempunyai ilmu
pengasihan, Tarigan
juga mempunyai ilmu
untuk mengobati orang.
Dia suka didatangi oleh
orang-orang yang mau
berobat kepadanya.
Tetapi tidak jarang juga
rumah mereka
didatangi oleh orang-
orang yang datang
menagih hutang kepada
Rebeka ketika Tarigan
tidak pulang ke rumah.
Mereka adalah pemilik
lapo - warung
tongkrongan orang
Batak. Dengan terpaksa
Rebeka pun harus
menerima ancaman dari
orang-orang tersebut
sementara suaminya
sendiri jarang pulang ke
rumah.
Setelah anak pertama
mereka lahir, perilaku
Tarigan juga tidak
berubah. Dia malah
semakin berani
bertindak kasar dan
keributan di rumah
tangga mereka selalu
terjadi berulang-ulang.
Tarigan tidak
mempunyai tanggung
jawab sebagai seorang
suami dan bapak. Ia
sering menghabiskan
uangnya untuk berjudi
sehingga terkadang
anak dan istrinya
sampai tidak bisa
makan karena tidak
memiliki uang sepeser
pun.
Tidak tahan dengan
keadaan rumah tangga
yang penuh dengan
kekerasan, Rebeka pun
akhirnya memilih untuk
bercerai dengan
suaminya. Namun
setelah perceraian
tersebut, anak Rebeka
mengalami sakit karena
kerinduan kepada
ayahnya. Tarigan
datang menjenguk. Dan
di hadapan Rebeka dan
Tarigan, anak mereka
berkata, "Mama sama
bapak tidak boleh
berpisah. Mama sama
bapak harus bersatu
seperti dulu."
Mendengar ucapan
anaknya yang sedang
sakit membuat Rebeka
memutuskan untuk
tinggal kembali
bersama Tarigan.
"Saya merasa bukan
badan saya saja yang
sakit, tetapi hati saya
sangat sakit. Karena
seakan-akan saya
merasa saya adalah
sapi perah suami saya.
Tetapi terus terang
untuk meninggalkan
suami saya - saya
sudah malu. Ada sekitar
empat kali saya pergi
berusaha tinggalkan
suami dan balik kembali.
Hingga saya bertekad,
apa pun yang terjadi
saya tidak akan
meninggalkan suami
saya lagi," kata Rebeka.
Pembantaian Sadis
Di Sore Hari
Suatu hari di bulan Mei
1999, Rebeka berencana
untuk pergi ke rumah
orangtuanya di Dumai
untuk bertemu dengan
anak ketiganya dan
adiknya yang sedang
melahirkan. Tarigan
tidak dapat ikut karena
ia tidak memperoleh
cuti dari tempat
kerjanya.
Ketika hari menjelang
sore, Rebeka meminta
pertolongan seorang
pria untuk
mengambilkan buah
kelapa di atas pohon
kelapa di samping
rumahnya. Pada saat ia
mengucapkan terima
kasih kepada pria itu,
Tarigan datang sambil
menatap Rebeka lalu
menyuruh salah
seorang anaknya untuk
meminjam pisau parang
kepada tetangganya.
Sambil membereskan
buah kelapa yang baru
saja dipetik, Rebeka
memperhatikan
suaminya sedang
mengasah pisau parang
di depan rumah. "Saya
melihat sesuatu yang
sangat jahat ada di
wajah suami saya.
Seakan-akan Dia mau
menelan saya. Tapi
perasaan itu saya
tepiskan jauh-jauh,"
kata Rebeka.
Setelah berkemas, jam
3 sore Rebeka dan
kedua orang anaknya
pergi meninggalkan
rumah. Ketika hendak
pergi, ia tidak
menemukan Tarigan di
dalam rumah. Akhirnya
mereka pun pergi tanpa
sempat berpamitan
kepada Tarigan. Baru
saja 100 meter pergi
meninggalkan rumah,
Rebeka menyuruh salah
seorang anaknya untuk
pulang mengganti alas
kakinya dengan sepatu.
Anak itu pun segera
berlari menuju ke
rumah, sementara
Rebeka berjalan pelan
bersama anaknya di
tengah perkebunan
kelapa sawit.
Di tengah perkebunan,
terlihat Tarigan sedang
duduk jongkok di bawah
pohon. Hati Rebeka
mulai merasa resah dan
jantungnya berdetak
tidak beraturan ketika
langkah kakinya
semakin mendekati
Tarigan. Tarigan
bangkit berdiri dan
menghentikan
perjalanan Rebeka.
"Kamu bilang anak kita
sakit karena saya. Tapi
anak kita sakit gara-
gara kamu!" bentak
Tarigan. Lalu ia
mengambil pisau parang
yang ia selipkan di
belakang celananya dan
mengangkatnya tinggi-
tinggi di depan Rebeka.
Ia hendak membacok
tubuh Rebeka, tapi
Rebeka segera
menangkis bacokan
parang tersebut dengan
tangan kanannya. Darah
segar mengalir deras.
Telapak tangan kanan
Rebeka putus dan jatuh
ke tanah. Rebeka
merasakan tangannya
mulai dingin dan ia
terkejut melihat
telapak tangan
kanannya sudah berada
di atas tanah. Sabetan
pisau parang yang
sangat tajam membuat
Rebeka tidak menyadari
tangannya sudah putus
dalam sekejap mata. Ia
berusaha lari sekuat
tenaga namun ia
terjatuh. Tarigan
segera mengayunkan
kembali parangnya dan
kali ini mengenai kaki
kanan Rebeka. Kaki
Rebeka putus seketika
itu juga diiringi kucuran
darah segar dari bekas
bacokan di kakinya.
Melihat darah sudah
berceceran di mana-
mana, Tarigan tetap
tidak menghentikan
aksinya. Ia terus
menghujamkan
parangnya ke tubuh
Rebeka sehingga
melukai beberapa
anggota tubuh lainnya.
Rebeka hanya bisa
berteriak histeris di
tanah sambil
menangkis ayunan-
ayunan pisau parang
dari Tarigan dengan
kaki kiri dan tangan
kirinya. 3 jari di tangan
kiri Rebeka putus. Kaki
kirinya banyak
mengalami luka sobek.
Darah segar mulai
membanjiri tanah di
perkebunan yang sepi
pada sore hari itu.
Tarigan semakin liar
dan membabi-buta
mengayunkan pisau
parangnya ke arah
Rebeka.
Dalam keadaan
terkapar dengan tubuh
terluka, Rebeka
dihampiri oleh anaknya.
Ia tidak meninggalkan
sang ibu ketika ayahnya
sedang mencoba
menghabisi nyawa
Rebeka. "Mama, kenapa
bisa begini," katanya
sambil bersujud di
dekat Rebeka dan
memeluk kepala Rebeka
di pangkuannya. "Nggak
apa-apa nak, mama
nggak apa-apa," jawab
Rebeka. Lalu anak itu
menangis menciumi
Rebeka. Melihat anak
dan istrinya menangis,
Tarigan bangkit berdiri
dan hendak menghabisi
nyawa anaknya. Namun
anaknya itu segera
berlari. Tarigan tidak
mengejar. Tarigan
melemparkan pisau
parangnya ke samping
tubuh Rebeka dan
mengambil dompet
miliknya. "Pa, jangan
pergi, jangan tinggalkan
saya. Tolong saya, pa!
Bawa saya ke rumah
sakit, saya takut di
sini," seru Rebeka
sambil mengerang
kesakitan. Tarigan
menoleh dan
menjawab, "Di situ
sajalah kamu. Saya mau
pergi ke kantor polisi."
Ketika berjalan, Tarigan
memungut potongan
tangan kanan Rebeka
yang putus. "Inilah
kenang-kenangan
terakhir dari saya," kata
Tarigan sebelum ia
melemparkan potongan
tangan tersebut
kepada Rebeka.
Masa Meregang
Nyawa
Rebeka mulai
merasakan dingin dari
kaki menjalar ke seluruh
tubuhnya. Hatinya
tercabik-cabik melihat
tindakan sang suami
yang sekeji itu.
Hembusan angin
semakin menambah
rasa sakit di tubuh
Rebeka. Detik demi
detik berlalu, Rebeka
semakin takut akan
kematian. "Tuhan
tolong saya, saya tidak
mau mati dengan cara
seperti ini, saya masih
punya anak-anak
Tuhan, tolonglah saya,"
doa Rebeka dalam hati
dalam keadaan
setengah sadar. Selang
beberapa waktu,
Rebeka ditolong oleh
tetangganya yang tak
sengaja lewat di
perkebunan. Awalnya ia
sempat dikira sudah
meninggal. Ia segera
dilarikan ke rumah sakit
untuk dioperasi. 4 bulan
lamanya ia berada di
rumah sakit untuk
dirawat secara intensif.
Tarigan Dijatuhi
Hukuman
Setelah keluar dari
rumah sakit, Rebeka
langsung menghadiri
sidang suaminya.
Keadaannya saat itu
sangat
memperihatinkan,
sebab kini tangan dan
kakinya buntung.
Perasaan benci dan
dendam kepada Tarigan
menguasai hatinya.
Tarigan dijatuhi
hukuman 8 tahun
penjara. Namun karena
berkelakukan baik, pada
akhirnya Tarigan
dibebaskan setelah
menjalani hukuman 4
tahun kurungan penjara.
Menjadi Orang Minder
Perasaan tidak
berharga karena kondisi
tubuh yang tidak
normal lagi membuat
Rebeka hidup dalam
keminderan. Ia bahkan
sempat mencoba untuk
bunuh diri. Namun
ketika melihat anak-
anaknya, ia
mengurungkan niat
tersebut. Rasa dendam
kepada sang suami tak
kunjung usai. Ia pun
menjadi trauma setiap
kali melihat pisau
parang dan laki-laki.
Rebeka menjadi
seorang pemarah dan
sering putus asa dalam
menjalani hidup.
Pengampunan
Kepada Sang Suami
Pada suatu hari,
seorang teman datang
menemui Rebeka.
Dalam pembicaraan
mereka, ia meminta
Rebeka untuk
mengampuni suaminya.
Ia mencoba
mengingatkan Rebeka
bahwa jika ia masih
menyimpan dendam
maka itu akan menjadi
penghalang doa-doanya
kepada Tuhan. Namun
Rebeka tidak bisa
menerimanya. Ia masih
sangat membenci
suaminya, terlebih
ketika kejadian di
perkebunan itu terulang
kembali dalam
ingatannya. Berkali-kali
teman-teman Rebeka
mencoba
menasihatinya. Rebeka
pun mulai berdoa. "Saya
meminta agar Tuhan
bekerja di hati saya dan
memberikan roh
kelembutan kepada
saya," kata Rebeka.
Empat tahun setelah
kejadian tragis
tersebut, Rebeka
mengambil keputusan
tersulit yang akan
mengubah seluruh
kehidupannya. "Saya
ingat firman Tuhan,
saya harus
mengampuni," kata
Rebeka. "Sebab saya
tahu, dibalik kejahatan
yang dilakukan suami
saya kepada saya,
pernah juga saya
menerima kebaikannya.
Akhirnya saya bisa
mengampuni. Ada
sukacita di hati saya
dan saya merasa hidup
saya tenang. Lepas dari
beban yang sangat
berat."
Sembilan tahun kini
sudah berlalu semenjak
kejadian itu. Saat ini
Rebeka menggunakan
kaki palsu untuk
membantu seluruh
aktivitasnya. Bersama
anak-anak tercintanya
ia menjalani hidup yang
bahagia. Hanya dengan
mengampuni seluruh
perbuatan suaminya,
Rebeka terlepas dari
sakit hati, dendam,
kebencian dan
kepedihan yang selama
ini membelenggu
hidupnya.
"Memang Tuhan itu
sangat baik, Tuhan
telah menyelamatkan
saya dari kematian.
Hingga walaupun
keadaan saya cacat,
tetapi sampai saat ini
saya masih bisa
bersukacita. Saya hanya
bisa berharap dan
berdoa agar suami saya
bertobat dan Tuhan
memberkati hidupnya
dengan selalu
memberikan yang
terbaik kepadanya,"
kata Rebeka dengan
tulus sepenuh hati
sambil menutup
kesaksiannya. (Kisah
ini ditayangkan 14
September 2010 dalam
acara Solusi di
O'Channel).
Sumber Kesaksian :
Rebeka Kustiana Br.
Tarigan

1 komentar: